Salah Kaprah

Salah Kaprah

\"\"Konsistensi pemerintah dalam melaksanakan sebuah program menjadi pertanyaan besar. Awalnya berdalih mendekatkan pelayanan air minum kepada masyarakat, setelah berjalan, program tersebut justru tidak jelas keberlanjutannya. Apa kabar program air siap minum? TAK sampai lima tahun program air siap minum yang ditempatkan di sejumlah lokasi strategis di dalam kota berjalan. Satu per satu, mengalami kerusakan, bahkan ada juga yang sudah dibongkar dan tak lagi berbekas. Misalnya saja dispenser air siap minum yang dipajang di Masjid At-Taqwa, sudah dua tahun belakangan ini tak terlihat lagi bentuk fisiknya. Belum lagi dispenser serupa yang disimpan di kantor Polisi Resor Cirebon Kota dan kantor Perusahaan Daerah Air Minum. Tak perlu jauh-jauh, dispenser di PDAM saja kondisinya tidak terawat. Beberapa bagian sudah berlumut dan tentu saja, siapa pun yang melihat pasti akan meragukan kebersihan air dari dispenser yang berfungsi sebagai penyaring air sekaligus itu. Dulunya, program ini begitu bangganya diusung oleh PDAM sebagai perwujudan melaksanakan target pemerintah yang terangkum dalam Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu targetnya adalah mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. “Cita-citanya sih seperti di luar negeri. Air dari kran bisa langsung diminum,” ucap dia, saat ditemui wartawan koran ini di ruang kerjanya. Direktur Teknik PDAM, H Hendra Yogiasa ST MM, justru berbeda pendapat. Menurutnya, keberadaan air siap minum dengan memasang dispenser di beberapa lokasi adalah pengejawantahan program yang salah kaprah. Apalagi, ketika dispenser tersebut menggunakan teknologi reverse osmosis atau metode penyaringan terbaik. “Tetapi salah kaprah air siap minum itu. Mestinya air dari pipa jaringan PDAM yang kemudian siap minum, bukannya menempatkan alat agar air siap minum,” ujar pria berkacamata ini. Dari sisi kualitas, Hendra yakin, air baku PDAM sebetulnya sudah memenuhi standar untuk siap minum. Tapi dari sisi infrastrukturnya yang belum siap.  Misalnya saja jaringan pipa distribusi yang jenis pipanya belum memenuhi syarat, kemudian kualitas dan kondisi pipa terpasang belum mendukung. “Tidak bisa dipungkiri kualitas pipa terpasang masih belum memenuhi syarat. Sampai unit produksi itu sudah siap minum dan sudah memenuhi syarat untuk diminum secara langsung. Tapi jaringan pipanya yang belum siap,” jelasnya. Ketidaksiapan infrastruktur ini dikarenakan penggunaan pipa-pipa peninggalan Belanda, meski kini jumlahnya tinggal sebagian saja. Tapi, masih ada juga pipa yang terpasang sejak 1960-an dan 1980-an. Padahal idealnya umur pakai pipa tersebut adalah 20 tahun. Kalaupun ingin mewujudkan air siap minum dari kran, maka PDAM harus menggunakan pipa berjenis poli etilen. Kualitasnya relatif lebih baik dari pipa jenis poly vinil chlorid (PVC) yang saat ini sebagian besar digunakan di jaringan distribusi. Karena sudah termakan usia, sehingga potensi bocor lebih besar. Artinya potensi infiltrasi yang memengaruhi dan kontaminasi terhadap kualitas air cukup besar juga. Soal perencanaan PDAM ke depan, Hendra mengungkapkan, untuk jangka waktu dekat ini belum masuk di dalamnya rencana air siap minum. Bahkan untuk penggantian pipa saja, PDAM masih belum merencanakannya. “Terus terang saja karena daya dukung tarif yang belum memungkinkan untuk investasi dan reinvestasi belum bisa kita penuhi. Idealnya kan 20 tahun ganti,” ungkapnya. Hendra mengaku prihatin dengan kondisi ini. Sebab, air siap minum dari jaringan pipa PDAM itu sebetulnya adalah obsesi, tapi tidak ada target secara pasti. Padahal sepengetahuan dirinya target Millenium Development Goals, adalah bagaimana mendekatkan akses air minum kepada masyarakat. Untuk perkotaan, setidaknya 70 persen masyarakat terpenuhi kebutuhan air minumnya. Tidak hanya dari jaringan perpipaan PDAM tetapi juga perlindungan terhadap sumber air masyarakat, semisal sumur dan sumber alternatif lainnya. Selain keberadaan infrastruktur yang belum memadai, perilaku bersih dan estetik masyarakat juga turut memengaruhi keinginan program air siap minum ini. “Insya Allah nggak terlalu cepat tercapai. Sebab syarat air minum itu secara fisik jernih, tidak berwarna dan berbau. Kimiawinya, kandungan-kandungan kimiawi dalam air juga dalam batas aman. Target nasionalnya ingin seperti di luar negeri. Tapi kalau jaringan PDAM-nya sudah siap, tapi jaringan pipa di masyarakat belum baik ya sama saja. Makanya, program ini tidak akan terlalu cepat tercapai,” bebernya. Direktur Umum PDAM, Sofyan Satari menambahkan, program air siap minum dengan pengadaan dispenser berteknologi reverse osmosis memang dilakukan pada tahun 2005 dan itu merupakan program nasional. Tetapi pengadaannya hanya titik tertentu saja. “Sekadar alat hanya untuk fasilitas umum, untuk memudahkan mendapatkan air minum,” jelasnya singkat. Anggota Komisi B DPRD, Priatmo Adji, justru menyoroti corporate plan PDAM yang sampai saat ini belum pernah ada. Yang ada selama ini hanya perencanaan tahunan yang biasanya berisi rencana penambahan debit air dan pencarian mata air baru. Sementara soal peremajaan pipa, pernah juga disampaikan tetapi realisasinya diragukan. Menurut Adji, core business PDAM seharusnya adalah manajemen yang hebat karena mengelola aset yang besar. Kemudian memiliki tanggung jawab mencari terus sumber air baku untuk mengantisipasi pertambahan pelanggan dan peremajaan pipa untuk mengurangi kebocoran fisik. Selain soal kebersihan air, sebenarnya yang perlu dilakukan PDAM sekarang adalah pembuatan master plan. Karena, menurut Mantan Direktur Teknik PDAM Kota Cirebon tahun 1976 sampai 1994 Subakat Suhada, master plan PDAM saat itu hanya sampai tahun 2000. Di dalam master plan kebutuhan air tercatat 1.140 liter per detik. Sementara Air yang tersedia dari Cipaniis sebanyak 860 liter per detik, sisanya masih perlu cari lagi. “Memang sudah waktunya mendapatkan sumber baru. Kalau saya melihat bahwa mungkin perlu ada penambahan kapasitas baru, terutama pada wilayah yang titiknya jauh, maupun elevasi tinggi dibanding rata-rata kota,” terangnya ditemui di kediamannya. Subakat menjelaskan, dari sisi kebutuhan, saat ini jumlah pelanggan masih terbilang rasional. Hanya masyarakat rata-rata sudah terlanjur dilayani baik. “Sekarang mungkin kita perlu memperbaiki keterlanjuran dan perbaikan suplai distribusi jaringan yang telah ada,” ungkapnya. (yuda sanjaya/suhendrik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: